Selasa, 25 Oktober 2016

Ontologi : Hakikat Apa yang Dikaji

Ontologi : Hakikat Apa yang Dikaji
A.    Pengertian Ontologi
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagai suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistimologi), dan teori nilai (aksiologi).
Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being=ada, dan Logos=logic=ilmu. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).
Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”. 
Jadi dapat disimpulkan bahwa, menurut bahasa ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu tentang hakikat yang ada. Sedangkan menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan Kenyataan yang asas, baik yang berbentuk jasmani / konkret, maupun rohani / abstrak.


B.     Metafisika
Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Pemikiran diibaratkan roket yang meluncur ke bintang-bintang menembus galaksi, maka metafisika adalah landasan peluncurannya.
Acuan berfikir : apakah hakekat kenyataan ini sebenar-benarnya?
Beberapa tafsiran metafisika : Di alam ini terdapat ujud – ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa bila dibandingkan dengan alam yang ada. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini. Beberapa tafsiran mengenai metafisika yang dipaparkan oleh Jujun (1995), sebagai berikut:
Tafsiran 1 :
  • Animisme merupakan kepercayaan berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Supernaturalisme adalah manusia percaya bahwa terdapat roh-roh gaib dalam benda tertentu. 
  • Materialisme (Democritus) merupakan kepercayaan berdasarkan pemikiran naturalisme. Naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam yang terjadi disebabkan oleh kekuatan alam itu sendiri, yang dapat dipelajari sehingga dapat kita ketahui kebenarannya.
Tafsiran 2 :
  • Mekanistik berpendapat gejala alam merupakan gejala kimia-fisika semata. 
  • Vitalistik berpendapat hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan proses kimia-fisika.
Tafsiran 3 :
“Proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat yang dipelajarinya”, dari pernyataan tersebut muncul pertanyaan “Apakah hakikat kebenaran   pikiran tersebut?”.
  • Monistik (Christian Wolff) menyatakan pada dasarnya pikiran dan zat itu sama, hanya berbeda pada gejala yang ditimbulkan yang disebabkan oleh proses yang berlainan, tetapi keduanya mempunyai substansi yang sama. Proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia dari otak.
  • Dualistik (Thomas Hyde) berpendapat bahwa zat dan pikiran berbeda secara substantif. Rene Descartes, John Locke, dan George Berkeley menyatakan apa yang ditangkap oleh pikiran merupakan penginderaan dari pengalaman manusia yang bersifat mental.
(1) Descartes berpendapat pikiran itu bersifat nyata sebab dengan berpikir sehingga sesuatu menjadi ada.
(2) Locke berpendapat pikiran diibaratkan organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera.
(3) Berkeley menyatakan sesuatu itu ada disebabkan adanya persepsi.

Pada hakikatnya ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika, namun seberapa jauh kaitannya, itu semua tergantung kita. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Pencapaian pengetahuan melalui penjelajahan ilmiah akan menimbulkan masalah secara terus menerus.[1]
Pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filsafat individual yang berbeda, boleh menganut paham yang berbeda-beda. Titik temu para ilmuan mengenai hal ini adalah sifat pragmatis dari ilmu.

C.    Asumsi
Asumsi adalah praduga anggapan semetara (yang kebenarannya masih dibuktikan). timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal untuk terjadi). 
Pertanyaan penting terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat?  Untuk menjawab permasalahan ini, perlu ditinjau dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Jujun, 1995) :
Determinisme
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Tomas Hubes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
Pilihan bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Misalnya, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagaimana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu. 
Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Sifat asumsi :
Tidak muthlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat muthlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan muthlak.
Kedudukan ilmu dalam asumsi  :
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, karena keputusan harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Resiko asumsi :
Apa yang diasumsikan akan mengandung resiko secara menyeluruh. Seseorang yang mengasumsikan usahanya akan berhasil maka direncanakan akan diadakan pesta keberhasilannya. Secara tiba-tiba usahanya dinyatakan tidak berhasil. Resikonya menggagalkan pelaksanaan pestanya.
Kesimpulan :
(1)Sebuah asumsi aalah sebuah ketidakpastian.
(2)Asumsi perlu dirumuskan berdasarkan ilmu pengetahuan.
(3)Timbulnya asumsi karena adanya sesuatu kejadian / kenyataan.

D.    Peluang
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.

E.     Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Beberapa asumsi dalam ilmu akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi. Ilmu sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis (pragmatis adalah sesuatu yang mengandung manfaat).
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu yang paling maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Fisika merupakan ilmu teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembutktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya (zat, gerak, ruang dan waktu).
Beberapa perbedaan asumsi :
1. Newton dalam bukunya Philosipiae Naturalis Principia Mathematika (1686) berasumsi bahwa keempat komponen bersifat absolut. Zat bersifat absolut dengan demikian berbeda secara subtantif dengan energi.
2. Einstein belaianan asumsi dengan Newton di dalam bukunya : The Special Theory Of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen (zat, gerak, ruang dan waktu) bersifat relatif. Tidak mungkin dapat mengukur gerak secara absolute.
3. Euclides (330-275 SM ) seorang ahli matematika yunani di iskandariyah Mesir. Terkenal karena menulis buku-buku tentang dasar ilmu ukur yang diuraikan berdasarkan aksioma-aksioma (kebenaran yang tak perlu lagi diragukan lagi akan kebenarannya). Dalam masalah tertentu akan cenderung dengan teori relativitas (Einstein).
Dalam mengembangkan asumsi, maka harus memperhatikan beberapa hal berikut.
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin keilmuan.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis.. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.
2.  Asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’.
Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sesuatu yang belum tersurat (terucap) dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.[2]

F.     Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Fungsi ilmu dalam kehidupan manusia adalah sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapinya. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Ruang penjelajahan keilmuan kemudian menjadi kapling-kapling disiplin keilmuan. Sempitnya daerah penjelajahan satu bidang keilmuan maka sering diperlukan pandangan dari disiplin lain. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi disipliner tidak akan bersifat konstruktif.

Cabang-cabang ilmu
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu sosial. Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis.  Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-massalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis.






[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Harapan, 2009), hlm. 69.
[2] Ibid., hlm. 90. 

0 komentar: