Selasa, 25 Oktober 2016

Landasan Psikologis, Moral, Etika dan Agama dalam Pendidikan Karakter

Landasan Psikologis, Moral, Etika dan Agama dalam
Pendidikan Karakter

A.  Landasan Psikologis
Pendidikan karakter saat ini tidaklah muncul begitu saja dan tidak juga muncul hanya sekedar untuk menanggapi kondisi moral anak bangsa yang cenderung berorientasi material ketimbang nilai. Namun, pendidikan karakter telah ada seiring dengan terbangunnya peradaban dan perkembangan psikologi. Menurut Gable dan Haidt di sinilah pentingnya psikologi positif untuk membawa bagaimana kualitas dari karakter positif cenderung bertahan dan lebih baik.
Menurut Gardner dan Mihaly Csikszentmihalyi, dalam hubungannya dengan pembangunan karakter, seseorang yang ingin menghasilkan pekerjaan yang baik, perlu memahami tiga dasar yang menyertainya, yaitu (1) mission, (2) standards and (3) identity. Maksudnya adalah ada tiga hal yang sangat mendasar dalam membangun kerja yang baik, yakni misi yang merupakan ciri profesi yang menegaskan di mana mereka terlibat, standar yang merupakan praktik terbaik dari suatu profesi yang dibangun, sedangkan identitas adalah nilai-nilai dan identitas personal.
Pertama, setiap bidang pekerjaan memiliki misi tertentu dalam menghasilkan suatu pekerjaan yang berkualitas tinggi. Misalnya, misi seorang guru atau dosen adalah untuk mendidik dan mengarahkan peserta didik guna mencapai keberhasilan dalam pendidikannya, bukan untuk memanfaatkan peserta didik dalam mencari keuntungan pribadi.
Kedua, standar pekerjaan yang dibangun harus mempertimbangkan etika dan moral. Misalnya, seorang guru atau dosen harus memiliki moral yang tinggi dalam setiap pergaulan, memperlakukan peserta didik secara adil dan bijaksana, dan menjaga etika.
Ketiga, berhubungan dengan latar belakang, ciri, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan pekerjaan dan merupakan pengertian holistik dari identitas. Kadang-kadang hasil pekerjaan yang baik dapat dilihat dan diidentifikasikan dari hasil kerjanya. Artinya, seseorang yang telah menghasilkan pekerjaan yang baik dapat dikenang dan diukur dari kualitas yang dihasilkan. Elemen penting dari identitas adalah moral, di mana orang bisa menentukan dalam batas mana yang boleh dilakukan dan mengapa batas-batas itu tidak bisa dilakukan.

B.  Landasan Moral
Pendidikan kewarganegaraan sebagai perwujudan atau boleh dikatakan sebagai pengganti mata pelajaran atau kuliah pendidikan moral pancasila seolah-olah kehilangan jati diri pancasila dan pendidikan moralnya. Konsekuensinya, ditengah derasnya arus globalisasi informasi dan komunikasi dimana akses informasi dan pengetahuan menjadi semakin mudah, sehingga penurunan moral pun tidak dapat dihindarkan. Dalam pelaksanakan pendidikan ini, tidak jarang terjadi praktik-praktik kecurangan yang mengiringi setiap penyelenggaraan ujian nasional, mulai dari pembocoran soal ujian, penyewaan jasa joki hingga sampai pada penyontekan massal. Untuk memperdalam pembahasan tentang pendidikan karakter, walaupun tidak terlepas dari pandangan pro dan kontra, perlu dijabarkan landasan moral pendidikan karakter.
Terdapat perbedaan mendasar antara moral dan etika. Pertama, moral merupakan karakter individu dari seseorang, sedangkan etika menekankan pada sistem sosial, di mana moral-moral tersebut diterapkan.
Kedua, ketika moral dan etika dikupas secara terpadu (integrated), maka pembahasan dari kedua disiplin tersebut menjadi sangat tidak memadai untuk menjadi landasan dalam kajian pendidikan karakter.
Salah seorang ilmuan psikologi ternama yang dikenal juga dengan bapak konstruktivisme, Jean Piaget dikenal sebagai ilmuan yang mengkaji persoalan-persoalan moral dalam hubungannya dengan perkembangan intelektualitas anak. Dia mengkaji bagaimana anak-anak bermain permainan (game) untuk memelajari keyakinan mereka tentang mana yang benar dan yang salah.
Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap salah satu permainan yaitu, bermain kelereng yang menunjukkan bahwa perkembangan moral muncul dari tindakan. Hasil observasi yang dilakukan oleh Piaget, kemudian digunakan dalam mengembangkan teorinya mengenai moralitas anak-anak. Seperti dikatakan oleh Singer dan Revenson bahwa, jika anda mengobservasi anak-anak di bawah umur tujuh tahun ketika sedang bermain, anda akan melihat mereka mengelaborasi aturan-aturan mereka sendiri, mengadaptasikan ke dalam situasi khusus, kemudian mengubah sesuai kehendak mereka, namun mereka yakin bahwa mereka bermain sesuai dengan aturan. Aplikasi aturan-aturan yang mengikuti tiga tahap utama tentang perkembangan moralitas anak-anak, yakni:
·           Motorik atau karakter individu, umur 0-2 tahun
Sebelum anak berusia 2 tahun, permainan hanya sekedar aktivitas motorik yang bersifat ritual semata. Dalam tahap ini, peraturan belum ada.
·           Egosentrik, umur 2-7 tahun
Merupakan tahapan transisi antara perilaku individu dan perilaku sosial yang mengikutinya. Artinya, pada saat yang sama, anak bermain dengan kawan-kawan seusianya, tetapi masing-masing mereka berbicara dengan mainannya sendiri. Dalam tahap ini, anak-anak mempertahankan egonya masing-masing untuk memamerkan keunggulan mainannya.
·           Kerjasama, umur 7-11 tahun
Tahapan kerja sama, di mana anak-anak mulai umur 7 tahun sudah dapat mengembangkan pengertian kerjasama.
·      Kodifikasi aturan-aturan, umur 11-12 tahun dan hingga dewasa.
Tahap kodifikasi aturan, umur 11-12 tahun, sudah dapat mengikuti kodifikasi aturan yang sesuai dan tegas. Aturan telah dipahami oleh semua pemain dan dinonton oleh masyarakat luas. Pemahaman pada aturan yang jelas dan ketat itulah yang sering mengeliminasi mereka untuk bertengkar atau berselisih paham. Karena ada perbedaan pendapat dan mereka langsung kembali kepada aturan main.

Jika mereka melakukan kesalahan lebih besar dari yang lainnya, mereka juga merasa lebih besar kesalahannya dibandingkan dengan mereka yang kecil tingkat kesalahannya. Piaget, mendapatkan anak yang mencuri lebih banyak atau bercerita dengan kebohongan yang lebih besar, merasa lebih bersalah atau berdosa dari pada anak yang mencuri hanya satu benda atau bercerita dengan tingkat kebohongan yang relatif kecil.

C.  Landasan Etika
Kata Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti adat kebiasaan. Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik, dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Etika dan moral kurang lebih sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. [1]
Banyak teori tentang etika, Graham (2004) mengemukakan delapan teori tentang etika, yaitu:
1. Egoisme
2. Hedonisme
3. Naturalisme dan teori kebaikan
4. Eksistensialisme
5. Kantisme
6. Utilitarianisme
7. Kontraktulaisme
8. Teori yang berdasarkan agama
Namun, disini penulis hanya akan menjelaskan tiga teori antara lain Egoisme, Kantisme dan Utilitarianisme, karena ketiga teori ini sudah mencakup mengenai teori etika dalam pendidikan karakter.
1.    Egoisme
Egoisme adalah cara untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan umumnya memiliki pendapat untuk meningkatkan citra pribadi seseorang dan pentingnya intelektual, fisik, sosial dan lainnya. Egoisme ini tidak memandang kepedulian terhadap orang lain maupun orang banyak, pada umunya hanya memikirkan diri sendiri.
2.    Kantisme atau Kantianisme
Kantianisme adalah pemahaman di mana setiap kita mengambil keputusan, kita harus membayangkan bagaimana kita adalah pihak yang dirugikan. Pemahaman ini  menjelaskan bahwa bila kita melakukan suatu tindakan, maka tindakan itu dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain.
3.    Utilitarianisme
Utilitarianisme adalah suatu tindakan benar atau salah tergantung pada baik buruknya akibat tindakan tersebut,  bagi  siapa saja yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut. 

D.  Landasan Agama
Semua agama mengajarkan tentang moral, nilai, etika, dan terlebih untuk melakukan perbuatan baik, tidak diperbolehkan untuk melakukan perbuatan jelek, dan berbagai ajaran spiritual. Pada tahun 2006-2007, Yosi Amran melakukan penelitian tentang nilai-nilai spiritual yang tercermin dari ajaran moral, nilai, dan etika dengan melibatkan beberapa agama seperti Budha, Hindu, Kristen, Islam, Yahudi, Non-Dual, Shamani, Taoisme, dan Yoga. Kemudian, dia merumuskan tujuh nilai-nilai dasar spiritual yang terdapat dalam semua agama tersebut, yakni (1) kesadaran, (2) keanggunan, (3) kebermaknaan, (4) nilai yang melampui di atas segalanya, (5) kebenaran, (6) kedamaian, (7) kebijaksanaan.
Agama menjadikan manusia sebagai pribadi yang mulia. Agama menjadikan manusia mempunyai budi pekerti yang baik. Eduard spranger membagi budi pekerti menjadi enam bagian yaitu: (1) kekuasaan, (2) agama, (3) keindahan, (4) kegunaan atau faedah, (5) pengetahuan atau kenyataan, dan (6) menolong mendermakan atau mengabdi (sosial).
Untuk menguraikan hasrat dan kemauan manusia itu dapat dilihat dari kultur (dari perspektif hasrat dan kemauan), nilai dan karakteristiknya. Jika kultur manusianya cenderung mengejar kekuasaan, nilainya adalah kenegaraan, maka karakteristik manusianya adalah politikus. Jika kulturnya ekonomi, kemudian nilainya manfaat, maka karakteristik manusianya pembisnis. Begitu pula dengan budaya pengabdian, nilainya adalah sosial, maka ciri manusianya adalah organisatoris sosial atau voluntir. Jika kulturnya pengetahuan, nilainya adalah teori, maka ciri manusianya adalah ilmuan. Begitu juga dengan kultur seni, nilainya adalah estetika, maka ciri manusianya adalah seniman. Terakhir, jika kulturnya agama, kemudian nilainya adalah religi, maka ciri manusianya menjadi agamawan.
Jadi, seluruh kehidupan ini terbagi ke dalam enam struktur yang berbeda-beda dan keenam nilai ini ada di dalam diri setiap manusia. Secara ringkas dapat dilihat dari tabel dibawah :

Tabel Kultur, Nilai, dan Karakter Manusia


Kultur
Nilai
Karakter
Kekuasaan
Kenegaraan
Politikus
Ekonomi
Manfaat
Pebisnis
Pengabdian
Sosial
Organisatoris
Pengetahuan
Teori
Ilmuan
Seni
Estetika
Seniman
Agama
Religi
Agamawan

Berdasarkan kultur, nilai, dan karakter sebagaimana digambarkan di atas, maka budi pekerti manusia ada yang lebih dominan pada kekuasaan, ekonomi, pengabdian, pengetahuan, seni, dan agama manakala tidak mendapat pengendalian dan pengontrolan dari sisi moral dan etika, maka cenderung jatuh dan terperangkap dalam suatu karakter yang lebih buruk dari karakter yang sesungguhnya.
Landasan agama merupakan salah satu pilar penting dalam pendidikan karakter. Agama mengajarkan moral, etika dan budi pekerti. Proporsi agama dianggap paling besar dalam pendidikan karakter, tidak salah jika guru bidang studi agama menjadi tumpuan besar dalam mengembangkan pendidikan karakter.[2]







[1]10menit, Pengertian Etika”, diakses dari https://10menit.wordpress.com/tugas-kuliah/pengertian-etika/, pada tanggal 29 September 2016 pukul 21.45.

[2] Andy Ahmad, Pendidikan Karakter Bangsa (Jakarta: STKIP Kusuma Negara, 2016), hlm. 33.

0 komentar: