Landasan
Psikologis, Moral, Etika dan Agama dalam
Pendidikan
Karakter
A. Landasan
Psikologis
Pendidikan
karakter saat ini tidaklah muncul begitu saja dan tidak juga muncul hanya
sekedar untuk menanggapi kondisi moral anak bangsa yang cenderung berorientasi
material ketimbang nilai. Namun, pendidikan karakter telah ada seiring dengan
terbangunnya peradaban dan perkembangan psikologi. Menurut Gable dan Haidt di
sinilah pentingnya psikologi positif untuk membawa bagaimana kualitas dari
karakter positif cenderung bertahan dan lebih baik.
Menurut
Gardner dan Mihaly Csikszentmihalyi, dalam hubungannya dengan pembangunan
karakter, seseorang yang ingin menghasilkan pekerjaan yang baik, perlu memahami
tiga dasar yang menyertainya, yaitu (1) mission, (2) standards and (3)
identity. Maksudnya adalah ada tiga hal yang sangat mendasar dalam
membangun kerja yang baik, yakni misi yang merupakan ciri profesi yang
menegaskan di mana mereka terlibat, standar yang merupakan praktik terbaik dari
suatu profesi yang dibangun, sedangkan identitas adalah nilai-nilai dan
identitas personal.
Pertama, setiap
bidang pekerjaan memiliki misi tertentu dalam menghasilkan suatu pekerjaan yang
berkualitas tinggi. Misalnya, misi seorang guru atau dosen adalah untuk
mendidik dan mengarahkan peserta didik guna mencapai keberhasilan dalam
pendidikannya, bukan untuk memanfaatkan peserta didik dalam mencari keuntungan
pribadi.
Kedua,
standar pekerjaan yang dibangun harus mempertimbangkan etika dan moral.
Misalnya, seorang guru atau dosen harus memiliki moral yang tinggi dalam setiap
pergaulan, memperlakukan peserta didik secara adil dan bijaksana, dan menjaga
etika.
Ketiga,
berhubungan dengan latar belakang, ciri, dan nilai-nilai yang berhubungan
dengan pekerjaan dan merupakan pengertian holistik dari identitas. Kadang-kadang hasil pekerjaan yang baik dapat dilihat dan
diidentifikasikan dari hasil kerjanya. Artinya, seseorang yang telah
menghasilkan pekerjaan yang baik dapat dikenang dan diukur dari kualitas yang
dihasilkan. Elemen penting dari identitas adalah moral, di mana orang bisa
menentukan dalam batas mana yang boleh dilakukan dan mengapa batas-batas itu
tidak bisa dilakukan.
B. Landasan
Moral
Pendidikan
kewarganegaraan sebagai perwujudan atau boleh dikatakan sebagai pengganti mata
pelajaran atau kuliah pendidikan moral pancasila seolah-olah kehilangan jati
diri pancasila dan pendidikan moralnya. Konsekuensinya, ditengah derasnya arus
globalisasi informasi dan komunikasi dimana akses informasi dan pengetahuan
menjadi semakin mudah, sehingga penurunan moral pun tidak dapat dihindarkan.
Dalam pelaksanakan pendidikan ini, tidak jarang terjadi praktik-praktik
kecurangan yang mengiringi setiap penyelenggaraan ujian nasional, mulai dari
pembocoran soal ujian, penyewaan jasa joki hingga sampai pada penyontekan
massal. Untuk memperdalam pembahasan tentang pendidikan karakter, walaupun
tidak terlepas dari pandangan pro dan kontra, perlu dijabarkan landasan moral
pendidikan karakter.
Terdapat perbedaan mendasar antara moral dan etika. Pertama,
moral merupakan karakter individu dari seseorang, sedangkan etika menekankan
pada sistem sosial, di mana moral-moral tersebut diterapkan.
Kedua, ketika moral dan etika
dikupas secara terpadu (integrated), maka pembahasan dari kedua disiplin
tersebut menjadi sangat tidak memadai untuk menjadi landasan dalam kajian
pendidikan karakter.
Salah seorang ilmuan psikologi ternama yang dikenal juga
dengan bapak konstruktivisme, Jean Piaget dikenal sebagai ilmuan yang mengkaji
persoalan-persoalan moral dalam hubungannya dengan perkembangan intelektualitas
anak. Dia mengkaji bagaimana anak-anak bermain permainan (game) untuk
memelajari keyakinan mereka tentang mana yang benar dan yang salah.
Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap
salah satu permainan yaitu, bermain kelereng yang menunjukkan bahwa
perkembangan moral muncul dari tindakan. Hasil observasi yang dilakukan oleh
Piaget, kemudian digunakan dalam mengembangkan teorinya mengenai moralitas
anak-anak. Seperti dikatakan oleh Singer dan Revenson bahwa, jika anda
mengobservasi anak-anak di bawah umur tujuh tahun ketika sedang bermain, anda
akan melihat mereka mengelaborasi aturan-aturan mereka sendiri, mengadaptasikan
ke dalam situasi khusus, kemudian mengubah sesuai kehendak mereka, namun mereka
yakin bahwa mereka bermain sesuai dengan aturan. Aplikasi aturan-aturan yang
mengikuti tiga tahap utama tentang perkembangan moralitas anak-anak, yakni:
·
Motorik atau karakter
individu, umur 0-2 tahun
Sebelum anak berusia 2
tahun, permainan hanya sekedar aktivitas motorik yang bersifat ritual semata.
Dalam tahap ini, peraturan belum ada.
·
Egosentrik, umur 2-7 tahun
Merupakan tahapan transisi
antara perilaku individu dan perilaku sosial yang mengikutinya. Artinya, pada
saat yang sama, anak bermain dengan kawan-kawan seusianya, tetapi masing-masing
mereka berbicara dengan mainannya sendiri. Dalam tahap ini, anak-anak
mempertahankan egonya masing-masing untuk memamerkan keunggulan mainannya.
·
Kerjasama, umur 7-11 tahun
Tahapan kerja sama, di
mana anak-anak mulai umur 7 tahun sudah dapat mengembangkan pengertian
kerjasama.
· Kodifikasi aturan-aturan,
umur 11-12 tahun dan hingga dewasa.
Tahap kodifikasi aturan,
umur 11-12 tahun, sudah dapat mengikuti kodifikasi aturan yang sesuai dan
tegas. Aturan telah dipahami oleh semua pemain dan dinonton oleh masyarakat
luas. Pemahaman pada aturan yang jelas dan ketat itulah yang sering
mengeliminasi mereka untuk bertengkar atau berselisih paham. Karena ada perbedaan pendapat dan mereka langsung kembali
kepada aturan main.
Jika mereka melakukan kesalahan lebih besar dari yang
lainnya, mereka juga merasa lebih besar kesalahannya dibandingkan dengan mereka
yang kecil tingkat kesalahannya. Piaget, mendapatkan anak yang mencuri lebih
banyak atau bercerita dengan kebohongan yang lebih besar, merasa lebih bersalah
atau berdosa dari pada anak yang mencuri hanya satu benda atau bercerita dengan
tingkat kebohongan yang relatif kecil.
C. Landasan Etika
Kata
Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah
“Ethos”, yang berarti adat kebiasaan. Etika biasanya berkaitan erat
dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos”
dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara
hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik, dan menghindari hal-hal
tindakan yang buruk.
Etika dan
moral kurang lebih sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari
terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang
dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian
sistem nilai-nilai yang berlaku. [1]
Banyak
teori tentang etika, Graham (2004) mengemukakan delapan teori tentang etika,
yaitu:
1. Egoisme
2. Hedonisme
3. Naturalisme dan teori
kebaikan
4. Eksistensialisme
5. Kantisme
6. Utilitarianisme
7. Kontraktulaisme
8. Teori yang berdasarkan
agama
Namun, disini penulis hanya akan menjelaskan tiga teori antara
lain Egoisme, Kantisme dan Utilitarianisme, karena ketiga teori ini sudah
mencakup mengenai teori etika dalam pendidikan karakter.
1. Egoisme
Egoisme adalah cara untuk
mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang menguntungkan bagi dirinya
sendiri dan umumnya memiliki pendapat untuk meningkatkan citra pribadi
seseorang dan pentingnya intelektual, fisik, sosial dan lainnya. Egoisme ini
tidak memandang kepedulian terhadap orang lain maupun orang banyak, pada umunya
hanya memikirkan diri sendiri.
2. Kantisme atau Kantianisme
Kantianisme adalah
pemahaman di mana setiap kita mengambil keputusan, kita harus membayangkan
bagaimana kita adalah pihak yang dirugikan. Pemahaman ini menjelaskan bahwa bila kita melakukan suatu
tindakan, maka tindakan itu dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan orang
lain.
3. Utilitarianisme
Utilitarianisme adalah
suatu tindakan benar atau salah tergantung pada baik buruknya akibat tindakan
tersebut, bagi siapa saja yang dipengaruhi oleh tindakan
tersebut.
D.
Landasan Agama
Semua agama mengajarkan tentang moral, nilai, etika, dan
terlebih untuk melakukan perbuatan baik, tidak diperbolehkan untuk melakukan
perbuatan jelek, dan berbagai ajaran spiritual. Pada tahun 2006-2007, Yosi
Amran melakukan penelitian tentang nilai-nilai spiritual yang tercermin dari
ajaran moral, nilai, dan etika dengan melibatkan beberapa agama seperti Budha,
Hindu, Kristen, Islam, Yahudi, Non-Dual, Shamani, Taoisme, dan Yoga.
Kemudian, dia merumuskan tujuh nilai-nilai dasar spiritual yang terdapat dalam
semua agama tersebut, yakni (1) kesadaran, (2) keanggunan, (3) kebermaknaan,
(4) nilai yang melampui di atas segalanya, (5) kebenaran, (6) kedamaian, (7)
kebijaksanaan.
Agama menjadikan manusia sebagai pribadi yang mulia.
Agama menjadikan manusia mempunyai budi pekerti yang baik. Eduard spranger
membagi budi pekerti menjadi enam bagian yaitu: (1) kekuasaan, (2) agama, (3)
keindahan, (4) kegunaan atau faedah, (5) pengetahuan atau kenyataan, dan (6)
menolong mendermakan atau mengabdi (sosial).
Untuk menguraikan hasrat dan kemauan manusia itu dapat
dilihat dari kultur (dari perspektif hasrat dan kemauan), nilai dan
karakteristiknya. Jika kultur manusianya cenderung mengejar kekuasaan, nilainya
adalah kenegaraan, maka karakteristik manusianya adalah politikus. Jika
kulturnya ekonomi, kemudian nilainya manfaat, maka karakteristik manusianya pembisnis.
Begitu pula dengan budaya pengabdian, nilainya adalah sosial, maka ciri
manusianya adalah organisatoris sosial atau voluntir. Jika kulturnya
pengetahuan, nilainya adalah teori, maka ciri manusianya adalah ilmuan. Begitu
juga dengan kultur seni, nilainya adalah estetika, maka ciri manusianya adalah
seniman. Terakhir, jika kulturnya agama, kemudian nilainya adalah religi, maka
ciri manusianya menjadi agamawan.
Jadi, seluruh kehidupan ini terbagi ke dalam enam
struktur yang berbeda-beda dan keenam nilai ini ada di dalam diri setiap
manusia. Secara ringkas dapat dilihat dari tabel dibawah :
Tabel Kultur, Nilai, dan Karakter Manusia
Kultur
|
Nilai
|
Karakter
|
Kekuasaan
|
Kenegaraan
|
Politikus
|
Ekonomi
|
Manfaat
|
Pebisnis
|
Pengabdian
|
Sosial
|
Organisatoris
|
Pengetahuan
|
Teori
|
Ilmuan
|
Seni
|
Estetika
|
Seniman
|
Agama
|
Religi
|
Agamawan
|
Berdasarkan
kultur, nilai, dan karakter sebagaimana digambarkan di atas, maka budi pekerti
manusia ada yang lebih dominan pada kekuasaan, ekonomi, pengabdian,
pengetahuan, seni, dan agama manakala tidak mendapat pengendalian dan
pengontrolan dari sisi moral dan etika, maka cenderung jatuh dan terperangkap
dalam suatu karakter yang lebih buruk dari karakter yang sesungguhnya.
Landasan agama merupakan salah satu pilar penting dalam
pendidikan karakter. Agama mengajarkan moral, etika dan budi pekerti. Proporsi
agama dianggap paling besar dalam pendidikan karakter, tidak salah jika guru
bidang studi agama menjadi tumpuan besar dalam mengembangkan pendidikan
karakter.[2]
0 komentar:
Posting Komentar